Surat Keluarga Oktober 2019

BUNDA KITA

Membayangkan St. Anna dan St. Yoakhim, orangtua St. Maria, kita akan masuk dalam rentang tahun yang penuh misteri dua ribuan tahun yang lalu. Bagaimana sepasang pasutri dapat membentuk suatu pribadi yang amat Tangguh seperti Maria. Panggilan Maria lebih sering sebagai Bunda semua orang. Betapa agungnya kalau seorang perempuan mampu menjadi ibu. Seperti Hawa yang sesudah penciptaannya juga dipanggil sebagai ibu dari semua bangsa manusia. Ke-bunda-an ini bukan sembarang kemampuan yang dimiliki semua orang. Banyak orang berstatus ibu, tetapi tidak semua mampu menjadi bijaksana, menjadi contoh, dan dewasa bersama statusnya.

Santa Maria mempunyai banyak nama yang berasal dari kekaguman kita sebagai orang beriman, diantaranya “benteng gading”, “benteng daud”, “tabut perjanjian”, “cermin keadilan”, “tahta kebijaksanaan”, “rumah kencana”, “bintang timur”, “pintu surga”, “bintang samudera”, “mawar yang gaib”, dan “Bunda”. Dari sekian banyak gelar-gelar itu, yang paling terkenal adalah “Bunda”. Maria disebut Bunda oleh semua orang beriman karena imannya. Ia mempunyai karakteristik kebundaan yang jelas, utuh, sempurna, dan disertai kualitas yang memadai sebagai bunda bagi Anaknya dan putera-puterinya seperti kita ini.

Kebundaan Maria mencengangkan semua orang, bahkan orang-orang yang cerdik pandai sekalipun. Ini terlihat dalam “kidung Maria”, bacalah Injil Lukas, Luk.1:46-55 dan kita akan melihat betapa pentingnya membangun kerendahan hati, menjadi hamba, dan berteguh iman dalam kesulitan hidup. Kebijaksanaan ini dimiliki Maria secara sederhana dan bisa dimiliki oleh manusia manapun juga.

Keluarga Katolik yang terkasih, menjadi pribadi yang dewasa berarti berani merombak seluruh idealitas diri yang kurang cocok dengan hidup panggilan kita yang mengarah kepada Tuhan. Tidak semua hal harus terjadi menurut keinginan kita, betapapun berkuasanya kita. Seorang Ibu,misalnya, yang amat ingin menuntaskan pendidikannya boleh juga memikirkan kembali untuk menjadikan perannya sebagai ibu sebagai prioritas utama. Atau seorang ayah “kekinian” yang masih ingin bersama teman-temannya di akhir minggu, bisa merevisi kebutuhannya dan mulai memikirkan anak-anak yang membutuhkan perhatiannya.

Apa yang dimiliki Maria bukanlah apa yang diinginkannya, tetapi ia menjalankan dengan hati yang tak terpecah. Kedewasaan Maria tertantang ketika dihadapkan dengan banyak hal yang tak diharapkan tetapi sangat penting bagi orang lain, terutama Puteranya dan keluarganya. Ia menjadi Bunda yang penuh dan utuh bersama hatinya yang tak pernah menegok ke belakang. Hari-harinya menjadi bahagia dan Tangguh karena ia tak berpaling dan terus maju menjadi ibu, menjadi orangtua yang “nrimo” dengan seluruh keberadaannya, tubuhnya, jiwanya, dan imannya.

Keluarga-keluarga yang terkasih, kita juga mempunyai panggilan kita masing-masing. Panggilan itu menuntut kemauan, keikhlasan, penerimaan dengan jiwa raga bahwa panggilanku sekarang harus berubah dan bertumbuh bersama waktu. Kita tak pernah bisa maju kalau selalu hidup di masa lalu. Kita tak akan memberi apa-apa kalau semua yang kita kerjakan setengah hati dan sangat dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri.

Panggilan jika dikerjakan dengan senang hati bukan hanya akan memberikan sukacita kepada orang lain, melainkan juga akan menjadi energi baru buat kita yang menjalani hidup. Bunda Maria merasakan sukacita, karena hatinya tidak “menuduhnya” melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan di hati Allah. Ia bersukacita karena merasa yakin bahwa Allah di pihaknya, dan itu sungguh terjadi! Semenderita apapun, Maria tetap pada jalan yang ditunjukkan Allah. Hatinya telah tetap untuk selalu mengikuti Allah dalam suka dan duka.

Bayangkan jika sebaliknya yang dilakukannya, misalnya bermain-main dengan peran dan setia sebentar lalu pergi meninggalkan tanggung jawabnya, apa yang akan terjadi? Apa yang menjadi kebanggaan kita mempunyai Bunda seperti itu? Tapi kita bisa melakukannya tanpa merasa bersalah: membolos dari ekaristi, membiarkan anak dengan asisten rumah tangga, banyak pertemuan dengan teman-teman lama, atau kebanyakan pelayanan yang menyita waktu dan mengabaikan waktu keluarga. Kita bisa melakukannya tanpa merasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal di rumah.

Syukurlah, Bunda Maria dalam keabadian memberi kita teladan sempurna dan tak tergoyahkan. Ia selalu menjadi inspirasi kita, bersama St. Yosef yang juga sama setianya, menekuni panggilan sebagai orangtua bagi anak-anak yang dititipkan Allah kepada kita. Menjadi orangtua, menjadi Ibu dan Ayah itu itu adalah ibadah buat kita. Itu adalah doa yang mewujud dan diimpikan oleh setiap anak yang dilahirkan di dunia ini. Adalah berkat jika mempunyai orangtua yang bertumbuh imannya dan dewasa.

Kesulitan semakin banyak. Kerumitan karena gadget, pergaulan kurang sehat, pelajaran sekolah yang makin berat bebanya, kesibukan dan banyak hal lain lagi bisa menjadi tantangan bagi setiap anak dan orangtuanya untuk berjuang melawan zaman yang serba tidak menentu. Saya percaya, kita bersama dapat mewujudkannya, asal kita punya kemauan dan ketekunan menjalani hidup berkeluarga.

Mari kita jadikan Bulan Maria ini sebagai bulan untuk mengulangi janji kita di hadapan Allah, menjadi orangtua yang memberkati; menjadi orangtua yang berbahagia karena dipilih untuk melayani anak-anak dan pasangan membentuk sebuah keluarga yang penuh syukur. Saya berdoa untuk Anda semua, agar keluarga kita semua diberkati-Nya dengan damai sejahtera. Amin

Rm. Alexander Erwin MSF

Surat Keluarga Juli 2019

NESTAPA ANAK YANG TAK TAMPAK

Keluarga Katolik yang terkasih di manapun berada. Sebentar lagi anak-anak akan menjalani lagi masa sekolahnya. Sebentar lagi anak-anak akan berjuang untuk masa depannya: bergelut dengan pelajaran sekolah, aktivitas fisik, pergaulan dengan teman sebaya, dan (barangkali) adalah ketakutan dan kekuatirannya! Melalui banyak cerita dan pertemuan yang kami adakan di tingkat keuskupan, kami menemukan masalah PERUNDUNGAN yang terjadi di kalangan anak-anak sekolah. Ternyata bisa sangat mengkuatirkan.

Ketika menghadiri pertemuan para psikolog dan konselor KAJ, ibu Hanlie dan Bp Pereira menyampaikan betapa seringnya anak-anak menyimpan pengalaman buruk dan bahkan sangat buruk di antara mereka. Para korban bully, terutama dengan segala macam cap, label, atau panggilan-panggilan yang memalukan dan dianggap lucu, anak-anak telah menderita batin karena merasa direndahkan, diancam, ditekan, dan mati langkah. Mendengar pengalaman anak-anak yang dibully dan datang pada saya sendiri juga mengerikan.

Mereka belum tentu mengalami pukulan atau kekerasan fisik, tetapi mereka merasakan ketakutannya sampai mendalam. Beberapa ada yang ingin mengakhiri hidupnya. Kejadian ini terjadi bukan hanya di keuskupan kita tercinta, tetapi di kota-kota lain dan bahkan negara-negara tetangga yang saya kunjungi. Sedemikian parahkah? Padahal usia putra-putri kita masih sangat muda dan mereka baru belajar mengenal dunia luar melalui pertemanan dan persahabatan yang akrab dengan teman-temannya.

Keluarga-keluarga Katolik yang terkasih, bagi anak-anak kita, persoalan uang, persoalan prestasi yang kurang baik bahkan masih dapat mereka tanggung, tetapi persoalan perundungan atau bully sangat besar mempengaruhi hidup mereka. Kesedihan ini mereka pendam dan sembunyikan karena mereka takut dilecehkan orangtuanya, dianggap penakut, dan tidak berguna. Beberapa orangtua bahkan membully anak mereka karena dianggap tidak berani melawan, padahal orangtua belum tentu menngerti benar apa yang terjadi di sekolah dan di relasi anak-anak mereka.

Persahabatan dan perkawanan adalah awal dari sebuah cerita yang kelak bisa menjadi kisa pilu. Teman yang tidak cocok, yang melihat kelemahan temannya, yang tahu temannya bisa “dikerjain”, akan dengan mudah memulai perundungan dengan kata-kata kasar sampai perlakuan fisik yang mengerikan. Saya pernah menjumpai seorang korban berusia 11 tahun yang mencakar seluruh tubuhnya sendiri karena kesal dilahirkan bertubuh kecil, merasa jelek, dan berbeda ras. Anak ini merasa ingin segera mati daripada harus berangkat ke sekolah dan bertemu para perundung (bully) di sana.

Kisah lain lagi adalah seorang anak laki laki berusia 19 tahun yang menurunkan berat badannya sampai 29 kg selama 1 tahun, sementara tinggi badannya adalah 170 cm. Bayangkan betapa kurusnya! Ia bahkan sampai berhalusinasi bahwa semakin kecil tubuhnya akan semakin bagus. Anak ini mengalami perundungan bertubi-tubi di sekolah favorit dan masih dirasakannya meskipun ia sudah lulus dari sekolah itu. Ia anak yang pandai, bahkan mendapat beberapa penghargaan, tetapi ia tidak dapat menghargai dirinya sendiri karena selalu dicela oleh para haters di sekolahnya dengan kata gendut, badut, culun, dll.

Rupanya anak-anak kita mengalam situasi yang berat dengan banyak beban, meskipun dunia mereka sudah serba mudah. Pelaku bully tidak selalu seorang yang aneh. Bisa saja ia lebih pintar, lebih kuat, lebih besar, lebih banyak teman, lebih pandai bicara, atau merasa lebih tampan/cantik. Pembully juga bisa bukan seorang yang bersuara keras, tetapi pasti kata-katanya menusuk dan menjatuhkan. Anehnya lagi, tidak semua anak-anak yang menonton akan membela. Bahkan kebanyakan menikmati dan terhibur dengan pemandangan bully ini. Kata-kata seperti “banci”, “item”, “gendut”, “cina”, “negro” atau “tolol”, “kampungan”, dan lain-lain.

Kita tidak boleh membiarkan fenomena bully ini dalam lingkungan sekolah dan keluarga kita. Siapapun berhak menjadi dirinya sendiri, asal tidak mengganggu orang lain dan tidak mengusik kenyamanan orang lain. Setiap orang harus diajak untuk mensyukuri diri dan hidupnya tanpa takut. Orangtua perlu lebih tanggap dan menanyakan perihal fenomena ini kepada anak. Barangkali, ini adalah salah satu topik penting yang harus Anda diskusikan dengan anak-anak Anda. Jangan sampai kehilangan kesempatan.

Jika anak kita adalah pelaku bully atau perundung, maka kita perlu menyampaikan informasi tentang kebaikan kepadanya. Ajarkan dia memikirkan temannya. Perlakuan keji, sombong, mengucilkan, atau merendahkan bahkan mengancam orang lain adalah perbuatan yang sangat buruk. Tanyakan kepada anak kita, apa yang ia pikir dan inginkan dari orang lain. Mengapa ia memikirkan yang jelek akan temannya? Dengan kata-kata bijak dan penuh pengertian, semoga kita bisa mengajak anak kita memahami situasi temannya yang kesulitan.

Jika anak kita adalah korban bully, katakan padanya keprihatinan Anda. Sampaikan bahwa Anda juga berempati pada anak Anda, tetapi kita harus mengatakan bahwa kondisi yang sering dijadikan alasan perundungan sebenarnya tidak demikian. Tuhan melahirkan kita dengan sempurna, meskipun tidak akan sempurna seperti yang kita mau. Betapapun cantik, tampan, atau pandai, selalu ada lubang untuk membuat kita merasa tidak sempurna. Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu! (Luk. 12:24).

Semoga dengan surat sederhana ini, kita semakin meningkatkan kewaspadaan kita akan hadir pengalaman traumatik bagi anak-anak kita. Jangan menunggu sampai anak-anak bercerita. Angkatlah topik ini dalam komunikasi dengan mereka dan ajaklah mereka berpikir positif dan bekerjasama dengan pihak sekolah atau pihak terkait termasuk orangtua perundung/pembully agar perundungan bisa dikurangi bahkan dihilangkan dari pengalaman bahagia anak-anak kita. Jika Anda bekerja di lingkungan sekolah, maka Anda perlu memperhatikan masalah ini dengan saksama dan serius. Tuhan memberkati.

Rm. Alexander Erwin Santoso MSF

Surat Keluarga September 2019

KEMAUAN UNTUK BERUBAH

Keluarga Katolik yang terkasih, selamat berhari-hari Kitab Suci bersama permenungan yang kita lakukan bersama seluruh umat dan keluarga. Semoga firman Tuhan menginspirasi kita untuk semakin bersikap bijak, penuh kasih, penuh iman, dan mencintai keluarga dengan lebih baik lagi. Semoga Anda sekeluarga penuh semangat menjalani masa pendalaman Kitab Suci bersama ini dengan sungguh-sungguh, karena ini dapat mengubah kita menjadi manusia yang semakin bermartabat dan semakin berhikmat.

Zaman mengarahkan kita pada hal-hal baru yang kita sendiri sering tidak tahu dibawa ke mana dan untuk apa. Teknologi baru, cara berdagang baru, mainan baru, mencari nafkah dengan cara baru, dan seterusnya. Semua itu membawa angin kebaruan, tetapi juga ketidak tahuan apa yang akan terjadi sesudahnya. Bagaimana membuat semua yang kita lakukan dan ikuti itu menjadi berguna?

Orang yang memahami kegunaan suatu barang akan mengejarnya dan ingin mendapatkannya karena sadar akan kegunaannya, dan bukan hanya ikut kata orang atau atas alasan lain yang tidak disadari dan tidak diketahui. Membeli telepon genggam, misalnya, seharusnya berdasarkan alasan kegunaan dan kesesuaian yang rasional, agar sesudah membeli, tidak merasa menyesal atau malah membingungkan karena tidak tahu bagaimana menggunakannya.

Para ayah dan ibu yang bekerja, memikirkan untuk melakukan pekerjaan lembur, bisa menjadi hal yang baik, karena itu kewajiban dan tanggung jawab sebagai karyawan dan sebagai seorang kepala keluarga. Akan tetapi, selalu bekerja lembur demi sesuatu yang tidak jelas dan bahkan demi mengisi waktu, tidaklah bijaksana, karena meninggalkan keluarga, anak-anak, pasangan, dan mengabaikan mereka setiap hari.

Mendapatkan pengetahuan saja dari buku-buku, seminar, retret, atau konseling sekalipun, tanpa kesadaran diri dan pemikiran yang mendalam, akan membuat semua yang ideal itu hanya menjadi cita-cita yang selalu kita impikan tetapi tidak pernah terwujud. Masih banyak lagi keputusan dan cara hidup yang membutuhkan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, bahkan kecerdasan sosial, agar kita dapat semakin diperhitungkan sebagai orang benar, yang bijaksana dan berhikmat.

Tidak mudah menjadi seorang bijaksana, tetapi tidak sulit juga mengusahakannya. Kita hanya perlu berubah. Perubahan memakan waktu, tetapi bisa menghasilkan sesuatu yang membuat kita dapat bertahan hidup di dunia yang tampaknya serba mudah, moderen, cepat, dan canggih seperti sekarang ini. Perubahan cara hidup tentu saja dibutuhkan. 2 Kita membutuhkan waktu hening.

Kita membutuhkan saat sendiri, berdoa, misa dan merenungkan semua yang sedang terjadi. Inspirasi ini pasti tidak populer, karena setiap orang mengejar kecepatan dan keterampilan bekerja dengan “multitasking”. Tetapi yang bijaksana jarang muncul dari kecepatan, melainkan dari ketekunan merenungkan dan memberi waktu untuk Tuhan berbicara.Waktu diberikan kepada kita secara beragam: waktu untuk bekerja dan waktu untuk diam adalah perpaduan yang komplementer, saling melengkapi.

Mungkin para keluarga di Indonesia sekarang berada dalam kebingungan mengatasi komunikasi pasutri, mengatasi kelesuan ekonomi, mengatasi pertumbuhan remaja, mempersiapkan perkawinan, buruknya relasi mertuamenantu, seks bebas, perselingkuhan, dan dunia digital yang membuat candu, semua membingungkan. Kita sungguh membutuhkan Tuhan. Ayub 5:8 mengatakan, “Tetapi aku, tentu aku akan mencari Allah, dan kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku.”

Keringnya hubungan dengan Allah membuat kita hidup dalam keributan duniawi. Kita menjadi penuh kekuatiran, ketakutan, kebingungan, kecanduan, kelelahan lahir batin dan akhirnya putus asa. Tuhan bukanlah suatu ide atau gagasan apalagi sekedar nasihat manis yang harus kita dengar di dalam Gereja atau kotbah-kotbah suci. Tuhan benar-benar Penolong yang sampai hari ini mampu menolong kita, asalkan kita mau berubah.

Berubahlah bersama waktu dan Allah. Kita hidup dalam sebuah keluarga yang mempunyai tradisi, budaya, kebiasaan, keyakinan intern dan cara hidup yang khas. Tetapi, semua itu tidak boleh menjadikan kita orang yang merasa “sudah jadi”, atau “sudah tidak mungkin berubah.” Kita masih harus dibentuk. Waktu hening akan membentuk kita, karena Tuhan berbicara di dalamnya.

Setiap kita bertanggung jawab pertama-tama atas dirinya sendiri. Ia harus yakin bahwa ia bertumbuh bersama Tuhan. Ia juga harus yakin bahwa kepribadiannya hari demi hari bertumbuh bersama waktu menjadi makin bijaksana, makin lembut, semakin sabar, semakin percaya kepada Tuhan Yesus Yang menjadi pedoman hidupnya.

..kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. (Ef.4:22-24)

Beginilah praktisnya. Kita sering merasa hidup ini mandeg atau tidak dapat bertumbuh. Tetapi sebenarnya kita bisa. Misalnya, jika usia Anda sudah mencapai 60 tahun dan Anda sudah pensiun, sekarang hidup Anda berubah. Anda harus mempunyai acara baru, bukan bekerja atau berkarya secara langsung, tetapi hidup dalam pengendapan diri dan kematangan yang dapat disaksikan oleh anak cucu. Siapkah Anda mengubah waktu pagi dari sibuk persiapan kerja menjadi rajin ke misa harian? Mungkin Anda berpikir, “Aku bukan orang yang suci dan rajin ke Gereja kok, dan selama ini aku orang biasa saja.” Saya mengajak Anda untuk merenung.

Sebelum post power syndrome datang, misalnya. Atau kesepian dan perasaan kosong melanda, Anda perlu mengubah jadwal hidup, menjadi makin rohani. Kesehatan fisik dimulai dari kesehatan rohani, dan itu berarti kebutuhan akan Allah semakin mendesak. Banyak orang yang saya beri usulan untuk datang ke misa pagi demi mengubah jadwal hidupnya, termasuk juga pada para pengusaha yang bisa mengatur waktu sebebasnya, menolak dengan halus dan mengatakan “tidak biasa” padahal ini tawaran dari Allah.

Perubahan selalu membawa pengorbanan di awal. Akan tetapi kalau kita telusuri lagi hasilnya, maka perubahan bisa menjadi alternative yang membuat hidup kita makin bahagia. Meninggalkan kebiasaan makan bersama sambal baca pesan elektronik (SMS, WA, chat, dll) barangkali juga suatu kebiasaan yang bisa mulai dibuat.

Ada lagi mereka yang sudah bertahun-tahun tidak saling berbicara meskipun satu tempat tinggal. Mereka saling marah dan sakit hati. Mereka diam-diaman dan saling membenci. Apakah itu tidak mampu diubah? Sampai kapan Anda membuat diri Anda seperti itu? Apa yang kira-kira harus dibuat Tuhan agar hati dan pikiran Anda berubah? Damai dan cinta menjadi cita-cita kosong karena situasinya tidak memungkinkan. Mungkin ini adalah saat tepat untuk berubah.

Saya akan selalu memotivasi Anda melakukan perubahan, mulai dari perubahan cara hidup bagi remaja, sampai perubahan cara hidup bagi para lansia. Saya dan kawan-kawan Komisi Kerasulan Keluarga KAJ merindukan semakin tumbuhnya pribadi-pribadi Katolik yang mau berubah menjadi lebih baik, lebih bijaksana, dan semakin menunjukkan martabatnya. Semoga surat ini menginspirasi Anda melakukan perubahan. Tuhan memberkati

Rm. Alexander Erwin Santoso MSF

Surat Keluarga Agustus 2019

Keluarga Katolik yang terkasih, akhir-akhir ini saya bertemu dengan umat yang terjerat rasa putus asa. Ada yang berpikir akan bercerai; ada yang berpikir akan mengakhiri hidupnya; ada yang berhenti mencintai; ada pula yang merasa tidak punya pilihan lain kecuali berhenti mempertahankan iman yang baik. Saya merasa ikut prihatin dan sangat berharap pengalaman ini segera berkurang atau tidak ada sama sekali. Saya ingin mengajak Anda semua mengulurkan tangan dan saling menolong.

Mengapa mereka jatuh dalam keputusasaan? Mengapa mereka seperti layang-layang yang putus dan terbang tak bertuan? Sementara mereka berdoa, mereka merasa sia-sia berharap kepada Tuhan yang tak terjangkau oleh tangan dan seperti tak terjaga menghadapi persoalan mereka. Saya jadi berpikir tentang Gereja kita.. apakah Tuhan tidak sanggup lagi menolong kesulitan kita bersama? Atau kita yang kurang dekat dengan Gereja-Nya? Atau barangkali kita yang kurang dalam penghayatan iman Katolik?

Gereja dibangun dari landasan iman bersama. “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20). Ayat ini meneguhkan kita bahwa kita mengimani iman yang sama dan percaya dalam Nama Tuhan Yesus Kristus yang sama. Tetapi Gereja serasa seperti lengah menjaga bangunan ini sementara “rayap-rayap” masa mengancam dan meruntuhkan bangunan kasih dalam keluarga beriman ini. Gereja sebagai bangunan terus dibangun, tetapi keluarga yang datang pergi kepadanya saling sedang memukul, melukai, membenci, dan meninggalkan pergi.

Mari melihat keluarga yang bermasalah dewasa ini, mulai dari suami isteri sampai pengasuhan anak-anak. Mengapa pasutri kurang dapat mempertahankan bangunan cinta yang menggambarkan hubungan Kristus dengan Gereja-Nya? Mengapakah, tampaknya, orang-orang Katolik pun tenggelam dalam kesulitan yang sama dengan orang-orang lain yang tidak seiman dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya? Benarkah iman hanya menjadi semacam slogan yang mengisi semangat, tetapi tidak menyelamatkan hidup nyata?

Paulus mengatakan, “karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh” (Efesus 5:23). Jadi kepercayaan kepada Kristus seharusnya menyelamatkan tubuh kita sampai tuntas. Kepercayaan yang personal kepada Kristus itulah yang akan menyelamatkan kita dalam hidup sehari-hari. Barangkali masalah kita bukan pada masalah personal antar pribadi dalam rumah tangga saja, melainkan sebenarnya adalah masalah iman yang tergerus zaman yang penuh kemudahan ini.

Beriman kepada Tuhan Yesus berarti mengimani sejarah hidup-Nya. Kita mengimani melalui jalan permenungan pribadi. Artinya, setiap orang harus tahu bahwa Kristus hidup bukan dengan enak-enakan dan serba mudah. Ia percaya pada Bapa (iman) dan hidup dari iman itu untuk menghadapi setiap perjuangan yang dipilih-Nya. Ia memilih berjuang dan bertahan dalam menghadapi tantangan. Kristus bukan mencintai penderitaan, tetapi Ia tahu bahwa konsekuensi hidup-Nya dalah berjuang, mencintai, mengajar, menegur, berbicara, mendampingi, memberi contoh, dan memutuskan untuk menjadi sesama bagi orang-orang di sekitar-Nya. Bukankah ini suatu sejarah yang pantas kita kenang?

Tadi saya menyatakan bahwa Gereja seperti lemah menghadapi persoalan berat dalam hidup perkawinan, barangkali tidak demikian. Ini saatnya bagi kita untuk bergerak bersama. Banyak keluarga membutuhkan pertolongan dan perhatian kita semua. Jangan merasa nyaman dengan hidup kita sendiri. Mari menunjukkan perhatian pada keluarga lain, melalui kunjungan, sapaan persaudaraan, bersahabat, atau bahkan memberi nasihat iman. Para imam tidak mempunyai cukup waktu untuk menolong semua umat yang berjumlah ribuan itu. Anda sebagai sesama harus turut menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Gereja bukan hanya imam-imam atau biarawan-biarawati, tetapi semua orang beriman.

Rayap-rayap keluarga selalu bisa datang sewaktu-waktu, tetapi warna-warni pengalaman itu jika dikumpulkan akan menjadi semacam “kumpulan kebijaksanaan kehidupan” yang saling mengingatkan, mencegah, memberi contoh, atau menjadi inspirasi bagi keluarga lain menghadapi perusakan relasi dalam hidup berkeluarga. Terbukti jelas bahwa kemudahan komunikasi elektronik dan kesejahteraan hidup tidak pernah menjamin sejahtera batin dan relasi dalam keluarga. Kita juga membutuhkan inspirasi dari banyak pihak dan pengetahuan kehidupan dari banyak pertemuan iman.

Di Keuskupan Agung kita tercinta ini, telah disediakan banyak sarana untuk membantu pelayanan pada keluarga. Saya bersama dengan banyak pemerhati keluarga telah menggiatkan banyak karya pelayanan dengan training atau pelatihan kepada pemerhati keluarga di tingkat paroki maupun lingkungan. Karya ini saya bangun bertahun-tahun karena mimpi saya adalah semua keluarga pernah mengalami pertolongan Tuhan dari Gerejanya. Betapa indahnya kalau kita saling membantu dan membesarkan hati, sehingga keluarga yang sedah bermasalah tidak merasa “sendirian atau ditinggalkan”.

Konselor-konselor banyak diwadahi di paroki-paroki kita. Para pemerhati telah diberi pengetahuan dasar perkawinan dan hidup berkeluarga. Pemerhati keluarga di lingkungan juga dikoordinir di paroki, dan dibekali, mulai dari konseling, menjadi orangtua / parenting, pendampingan remaja, pemdampingan pemuda pemudi berpacaran, pendampingan lansia, pendampingan calon menikah, katekese keluarga, sampai pendampingan berjenjang untuk pasutri di tingkat masing-masing. Semua sudah diusahakan.

Mari saya mengajak lagi kita semua saling menyayangi, memperhatikan dan menjadi saudara dalam karya pendampingan keluarga di Keuskupan kita tercinta ini. Jangan lelah dan jangan takut dengan tantangan. Masih banyak saudara-saudari seiman yang membutuhkan bantuan. Untuk Anda yang sedang bermasalah, jangan kuatir, kami selalu siap membantu. Para imam, Seksi Kerasulan keluarga paroki, sampai di tingkat lingkungan selalu bisa dihubungi untuk membantu pendampingan kita bersama. Selamat memasuki bulan Agustus, selamat merasakan kemerdekaan, dan menghidupi sebuah hidup yang menyenangkan dalam Gereja kita ini. Amin

Rm. Alexander Erwin Santoso MSF