NESTAPA ANAK YANG TAK TAMPAK
Keluarga Katolik yang terkasih di manapun berada. Sebentar lagi anak-anak akan menjalani lagi masa sekolahnya. Sebentar lagi anak-anak akan berjuang untuk masa depannya: bergelut dengan pelajaran sekolah, aktivitas fisik, pergaulan dengan teman sebaya, dan (barangkali) adalah ketakutan dan kekuatirannya! Melalui banyak cerita dan pertemuan yang kami adakan di tingkat keuskupan, kami menemukan masalah PERUNDUNGAN yang terjadi di kalangan anak-anak sekolah. Ternyata bisa sangat mengkuatirkan.
Ketika menghadiri pertemuan para psikolog dan konselor KAJ, ibu Hanlie dan Bp Pereira menyampaikan betapa seringnya anak-anak menyimpan pengalaman buruk dan bahkan sangat buruk di antara mereka. Para korban bully, terutama dengan segala macam cap, label, atau panggilan-panggilan yang memalukan dan dianggap lucu, anak-anak telah menderita batin karena merasa direndahkan, diancam, ditekan, dan mati langkah. Mendengar pengalaman anak-anak yang dibully dan datang pada saya sendiri juga mengerikan.
Mereka belum tentu mengalami pukulan atau kekerasan fisik, tetapi mereka merasakan ketakutannya sampai mendalam. Beberapa ada yang ingin mengakhiri hidupnya. Kejadian ini terjadi bukan hanya di keuskupan kita tercinta, tetapi di kota-kota lain dan bahkan negara-negara tetangga yang saya kunjungi. Sedemikian parahkah? Padahal usia putra-putri kita masih sangat muda dan mereka baru belajar mengenal dunia luar melalui pertemanan dan persahabatan yang akrab dengan teman-temannya.
Keluarga-keluarga Katolik yang terkasih, bagi anak-anak kita, persoalan uang, persoalan prestasi yang kurang baik bahkan masih dapat mereka tanggung, tetapi persoalan perundungan atau bully sangat besar mempengaruhi hidup mereka. Kesedihan ini mereka pendam dan sembunyikan karena mereka takut dilecehkan orangtuanya, dianggap penakut, dan tidak berguna. Beberapa orangtua bahkan membully anak mereka karena dianggap tidak berani melawan, padahal orangtua belum tentu menngerti benar apa yang terjadi di sekolah dan di relasi anak-anak mereka.
Persahabatan dan perkawanan adalah awal dari sebuah cerita yang kelak bisa menjadi kisa pilu. Teman yang tidak cocok, yang melihat kelemahan temannya, yang tahu temannya bisa “dikerjain”, akan dengan mudah memulai perundungan dengan kata-kata kasar sampai perlakuan fisik yang mengerikan. Saya pernah menjumpai seorang korban berusia 11 tahun yang mencakar seluruh tubuhnya sendiri karena kesal dilahirkan bertubuh kecil, merasa jelek, dan berbeda ras. Anak ini merasa ingin segera mati daripada harus berangkat ke sekolah dan bertemu para perundung (bully) di sana.
Kisah lain lagi adalah seorang anak laki laki berusia 19 tahun yang menurunkan berat badannya sampai 29 kg selama 1 tahun, sementara tinggi badannya adalah 170 cm. Bayangkan betapa kurusnya! Ia bahkan sampai berhalusinasi bahwa semakin kecil tubuhnya akan semakin bagus. Anak ini mengalami perundungan bertubi-tubi di sekolah favorit dan masih dirasakannya meskipun ia sudah lulus dari sekolah itu. Ia anak yang pandai, bahkan mendapat beberapa penghargaan, tetapi ia tidak dapat menghargai dirinya sendiri karena selalu dicela oleh para haters di sekolahnya dengan kata gendut, badut, culun, dll.
Rupanya anak-anak kita mengalam situasi yang berat dengan banyak beban, meskipun dunia mereka sudah serba mudah. Pelaku bully tidak selalu seorang yang aneh. Bisa saja ia lebih pintar, lebih kuat, lebih besar, lebih banyak teman, lebih pandai bicara, atau merasa lebih tampan/cantik. Pembully juga bisa bukan seorang yang bersuara keras, tetapi pasti kata-katanya menusuk dan menjatuhkan. Anehnya lagi, tidak semua anak-anak yang menonton akan membela. Bahkan kebanyakan menikmati dan terhibur dengan pemandangan bully ini. Kata-kata seperti “banci”, “item”, “gendut”, “cina”, “negro” atau “tolol”, “kampungan”, dan lain-lain.
Kita tidak boleh membiarkan fenomena bully ini dalam lingkungan sekolah dan keluarga kita. Siapapun berhak menjadi dirinya sendiri, asal tidak mengganggu orang lain dan tidak mengusik kenyamanan orang lain. Setiap orang harus diajak untuk mensyukuri diri dan hidupnya tanpa takut. Orangtua perlu lebih tanggap dan menanyakan perihal fenomena ini kepada anak. Barangkali, ini adalah salah satu topik penting yang harus Anda diskusikan dengan anak-anak Anda. Jangan sampai kehilangan kesempatan.
Jika anak kita adalah pelaku bully atau perundung, maka kita perlu menyampaikan informasi tentang kebaikan kepadanya. Ajarkan dia memikirkan temannya. Perlakuan keji, sombong, mengucilkan, atau merendahkan bahkan mengancam orang lain adalah perbuatan yang sangat buruk. Tanyakan kepada anak kita, apa yang ia pikir dan inginkan dari orang lain. Mengapa ia memikirkan yang jelek akan temannya? Dengan kata-kata bijak dan penuh pengertian, semoga kita bisa mengajak anak kita memahami situasi temannya yang kesulitan.
Jika anak kita adalah korban bully, katakan padanya keprihatinan Anda. Sampaikan bahwa Anda juga berempati pada anak Anda, tetapi kita harus mengatakan bahwa kondisi yang sering dijadikan alasan perundungan sebenarnya tidak demikian. Tuhan melahirkan kita dengan sempurna, meskipun tidak akan sempurna seperti yang kita mau. Betapapun cantik, tampan, atau pandai, selalu ada lubang untuk membuat kita merasa tidak sempurna. Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu! (Luk. 12:24).
Semoga dengan surat sederhana ini, kita semakin meningkatkan kewaspadaan kita akan hadir pengalaman traumatik bagi anak-anak kita. Jangan menunggu sampai anak-anak bercerita. Angkatlah topik ini dalam komunikasi dengan mereka dan ajaklah mereka berpikir positif dan bekerjasama dengan pihak sekolah atau pihak terkait termasuk orangtua perundung/pembully agar perundungan bisa dikurangi bahkan dihilangkan dari pengalaman bahagia anak-anak kita. Jika Anda bekerja di lingkungan sekolah, maka Anda perlu memperhatikan masalah ini dengan saksama dan serius. Tuhan memberkati.
Rm. Alexander Erwin Santoso MSF